“Caraka Bumi” merupakan pameran mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta untuk turut dalam peringatan Hari Bumi sekitar 1 bulan yang lalu, tepatnya 22 April. Karya-karya yang hadir dalam pameran ini menunjukkan rasa apresiasi perupa terhadap keindahan lingkungan, serta karya yang menunjukkan masalah kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Hal ini selaras dengan tujuan peringatan Hari Bumi yang ingin meningkatkan rasa apresiasi manusia terhadap lingkungan serta rasa kesadaran mengenai kerusakan yang terjadi pada lingkungan.
Caraka, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pembawa pesan. Dalam pameran ini, perupa hadir sebagai pembawa pesan yang berupa karyanya.
Bumi, planet ketiga dari matahari. Bumi berada pada Goldilocks Zone, zona yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan matahari sehingga cocok untuk tempat tinggal makhluk hidup. Ada banyak keindahan yang bisa ditemukan di bumi. Dari titik tertinggi bumi di Everest hingga titik terdalam di Palung Mariana, keindahan dapat dengan mudah kita temukan. Contoh keindahan yang bisa lihat di Indonesia adalah pantai yang berada di Kepulauan Karimun jawa, yang memiliki 27 koral yang unik, pantai yang begitu indah dengan airnya yang berwarna turquoise. Keindahan juga bisa ditemukan dari makhluk hidup yang hidup di dalamnya, seperti burung Cendrawasih yang memiliki ekor yang sangat indah. Planet berumur sekitar 4,54 miliar tahun ini telah melalui banyak perubahan di dalamnya. Salah satu perubahan terbesar ada karena manusia. Manusia yang memiliki akal cerdas mempergunakan segala sumber daya yang diperlukan hingga menciptakan ekosistem-ekosistem baru untuk keperluannya. Hal ini juga tentu menghadirkan keindahannya tersendiri, contohnya saja gedung pencakar langit. Namun dibalik keindahan tersebut, manusia juga hadir membawa kerusakan karena sifat egoisnya. Manusia mengeksploitasi sumber daya alam di bumi tanpa memberikan timbal balik yang setara. Contoh termudahnya saja penebangan terhadap pohon di hutan tanpa dilakukan penanaman kembali yang selaras. Manusia juga menghasilkan limbah dari berbagai sektor kehidupannya, dimana limbah-limbah tersebut tidak mudah terurai sehingga merusak lingkungan.
Caraka Bumi. Perupa pada pameran ini hadir sebagai pembawa pesan mengenai indahnya lingkungan di bumi serta kerusakan yang dilakukan manusia terhadap bumi. Selain memberikan pesan melalui karyanya, perupa juga mengajak manusia untuk melihat keadaan alam sekitar yang mulai mengalami kerusakan dan melakukan perubahan untuk menghadapi kerusakan yang terjadi di bumi.
Pesan mengenai keindahan alam hadir untuk mengawali pameran ini melalui beberapa karya. Karya “Nature” ciptaan M. Cahya hadir menunjukan keindahan lingkungan secara umum dengan penggambaran hutan, pantai, sungai, serta lapang luas berwarna hijau dihiasi keindahan langit. Begitu juga dengan karya Haura Khalisha berjudul “Warna Alam” yang menggambarkan keindahan alam dengan impresi warna buatannya. Makhluk hidup yang tinggal di dalamnya juga memiliki keindahannya tersendiri, seperti dalam karya “Berinteraksi dengan Alam Bebas” ciptaan Dheo Amora yang menggambarkan burung yang hinggap diantara bunga dan dedaunan. Karya Wirani lebih fokus lagi terhadap satu tumbuhan yaitu bawang merah dalam karya cetak “Kawung Bawang”. Selain itu keindahan juga hadir dari interaksinya dengan manusia, walaupun terkadang hal ini bisa membawa
kerugian pada alam. Ranu Cumbolo menggambarkan interaksi ini dalam karya berjudul “Tumbuh”. Sandriana Billiardi dengan karya “Lain yang Tak Terlihat” dan M. Auliya dengan karya “Smoke and Mirorrs” juga menggambarkan keindahan dalam interaksi tersebut, walau mulai terlihat keegoisan manusia dan kerusakan lingkungan yang hadir dari interaksi antara lingkungan dan manusia.
Pada karya Dharajatya Tri Pramatatwa, menggambarkan bahwa masyarakat mulai sadar akan kerusakan alam akibat oknum-oknum korporat yang mengeksploitasi alam secara berlebihan namun mereka tetap saja berhasil meredam suara rakyat yang menuntut mereka dengan berbagai cara. Daniel Nathanael menggambarkan bumi sebagai Dewi Gaia yang sedang berusaha melindungi diri dari keserakahan manusia. Pada karya berjudul “Imbalance”, Eugenia Natania Andina mempunyai pandangan bahwa tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar karena manusia & alam sama sama berusaha bertahan hidup. Namun, pandangan itu disanggah oleh Nur Nadhroh Al Wahidi yang berujudul “Homo Ardenter” yang menggambarkan betapa rakusnya manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Octa Ria Meisye Rachma menyampaikan pesan bahwa kerusakan alam dapat merusak juga kehidupan makhluk yang ada di sekitarnya. Diantara kerusakan yang disampaikan Cindy Aurelia mencoba mempertanyakan seberapa penting kah Hari Bumi bagi manusia dan adakah pengaruh yang cukup besar perayaan Hari Bumi bagi kerusakan alam yang sudah terjadi. Diantara perayaan Hari Bumi dan segala bentuk perayaan Nabila Aftania melalui karyanya yang berjudul “Terracide” menyampaikan bahwa Bumi yang terlihat indah ini sejujurnya mempunyai banyak luka yang diakibatkan kerusakan alam. M. Indrajit berpendapat setangkai daun pada akhirnya yang menjadi harapan terakhir manusia. Ditengah tengah kekacauan akibat kerusakan alam, Stevanus Daniel dan Khasna Nurul dalam karyanya berharap bumi akan pulih dan mengajak masyarakat untuk mulai peduli terhadap Bumi yang semakin hari semakin memburuk.
Pada karya “Waktu Menenggelamkan”, M. Aqil Zahry melihat bahwa semakin hari tidak hanya alam saja yang mulai tidak sehat, tetapi manusia juga mulai tidak sehat karena hanya sibuk memikirkan pembangunan tanpa melihat dampaknya bagi lingkungan sekitar. Sama halnya dengan Aqil, Mochamad Arya Maulana juga merasa bahwa manusia mulai serakah dan semena-mena terhadap alam hanya karena mempunyai kekuasaan dan uang yang banyak. Noval & Betharianty Sekar melalui karyanya masing-masing berpendapat bahwa manusia telah menanam kerusakan, maka yang didapatkan oleh manusia adalah kehancuran. Lalu ada Rista Anisya melalui karya “Tak Berkutik” mengilustrasikan bumi yang sedang kritis berjuang untuk pulih. Lalu ada Yohanes Kevin melalui karya “ Dimana Rumahku?” mempertanyakan mau di pindahkan kemana masyarakat adat dan hewan endemik yang tinggal di hutan apabila tempat mereka digusur begitu saja. Lalu ada I Gusti Ayu Rai Tantriyani yang menggambarkan nasib hewan-hewan yang ada di hutan apabila hutan mereka rusak akibat kebakaran.
Setelah itu, terdapat beberapa pesan mengenai kerusakan ekosistem air. Sebagian besar perupa yang pada bagian ini mengangkat permasalahan limbah manusia. Limbah manusia yang menyebabkan kerusakan eksositem air hadir pada karya M. Yusya berjudul “Dhara” dan karya Bento berjudul “Alam Sakit”, dimana sampah plastik hingga limbah minyak digambarkan pada kedua karya tersebut. Di sisi lain, Hanif Abdurrahman dan M. Reza menghadirkan akibat dari limbah tersebut. Ekosistem bawah laut seperti ikan dan terumbu karang menjadi tergantikan oleh limbah manusia, seperti digambarkan pada karya “Terumbu
Barang” dan “Kerusakan Ekosistem Laut”. Duta Adipati juga menggambarkan akibat dari kerusakan lingkungan ini namun dalam skala mikroskopis dengan penggambaran bakteri dalam karya “Makhluk Akuatik”. Kerusakan akibat limbah ini dalam jangka panjang tentu akan berbalik dan merugikan manusia yang membutuhkan air sebagai penunjang hidupnya. Hal ini tergambarkan pada karya “When we damage the earth, We damage ourselves”. Yang terakhir dari kerusakan ekosistem air adalah permasalahan penangkapan hiu, yang merupakan satwa dilindungi, secara sadis untuk dimakan siripnya. Permasalahan hiu ini digambarkan oleh Gabriel Mangun Satria dalam karya “Nyawa yang Tenggelam”.
Seperti dikatakan sebelumnya, perupa pada pameran ini juga membawakan pesan ajakan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan menjaganya dengan lebih baik. Salsa Dewi S. menghadirkan karya berjudul “Will You Help Us?” yang menggambarkan hewan-hewan dilindungi yang meluruskan tangannya seperti meminta pertolongan kepada kita, manusia. M. Azmi dengan karya berjudul “Jaga Bungaku” dan Rama Yapin dengan karya berjudul “Last Clover” hadir dengan penggambaran yang terkesan menyedihkan, seperti mengajak kita untuk menjaga tumbuhan yang tersisa supaya tidak benar-benar habis. Di lain sisi, penggambaran yang cukup optimis hadir pada karya Ariesdhita Christie yang berjudul “Menanam Pohon Menjaga Paru-Paru Dunia” dan karya “Green ‘Em All”, yang terinspirasi dari album Kill ‘Em All ciptaan Metallica, buatan Icksan Julio. Kedua karya ini mengajak kita untuk menanam pohon. Oriana Dizza dengan karya “Earth in Our Hands” seperti menyimpulkan bahwa kita, manusia, memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan lingkungan hidup di bumi ini.
Permasalahan ini adalah permasalahan yang cukup rumit dan tidak ada satu solusi yang bisa lansung menyelesaikan semua permasalahan ini. Semuanya harus dilakukan dengan langkah yang bertahap, besar-kecilnya tidak terlalu bermasalah, karena langkah yang kecil juga bisa menghasilkan perubahan yang besar. Dengan adanya pameran ini, satu langkah baru telah kita lakukan untuk keberlangsungan lingkungan hidup di bumi ini. Pameran ini juga melakukan langkah nyata untuk keberlangsungan lingkungan hidup dengan mendonasikan hasil penjualan karya untuk penanaman mangrove di pantai Jakarta. Apakah anda juga akan melakukan langkah anda sendiri? Demi bumi kita?
Salam Debur Ombak!
Marsilam Sun Lukas dan Muhammad Khrisna D. P.
Mochamad Arya Maulana
Salsa Dewi S.
Duta Adipati
Nirwan Sambudi
Wirani Putri Rahmania
Icksan Julio Augusta
Muhammad Reza
Muhammad Yusya
Yohanes Kevin Geraldo
MUHAMAD AQIL ZAHRY
Daniel Nathanael
Cindy Aurelia
M. Auliya Fadlillah Bohari
Sandriana Billiardi
Haura Khalisha
Gabriel Mangun Satria
Nabila Aftania Muthmainnah
Eugenia Natania Andina
Nur Nadhroh Al Wahidi
Ranu Cumbolo Alamsyah